Legalitas Acara Maulid Nabi dan Hari Besar lainnya (Isra’ Mi’raj, Syuroan, Selamatan, dst)

Tidak ada alasan lagi bagi kaum Wahabis untuk mem-Bid’ah-kan peringatan Maulid Nabi dan hari-hari besar keagamaan lainnya, kecuali alasan/faktor Politis belaka. Karena acara peringatan kelahiran Muhammad Rasulullah sama dengan memperingati awal kelahiran pejuang yang akan menumpas semua sifat kejahiliyahan, memerangi segala kedzaliman, mengganyang materialism/kesyirikan dan setiap angkara murka…ini yang tidak dikehendaki penguasa Saudi yang dari awal berkolaborasi dengan pendiri Wahabisme. Semakin umat islam dekat dengan Islam dan  pembawanya, maka semakin membahayakan…dari situlah dimunculkannya Wahabisme sebagai ajaran resmi kerajaan Saudi dukungan U.K. (Inggris). Dari sini dapat ditebak pula niat jahat mereka dibalik perusakan dan penghancuran semua situs-situs bersejarah Islam dan Muhammad, berdalih pemurnian Akidah Tauhid. Padahal semua tahu, bahwa argumentasi mereka sangat lemah dan sama sekali bertentangan dengan konsep Tauhid itu sendiri.

Cinta RAsul

Legalitas Acara Maulid Nabi dan Hari Besar lainnya (Isra’ Mi’raj, Syuroan, Selamatan, dst)

Dikarenakan para pengikut sekte Wahabi mengikuti ajaran pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab An-Najdi  meyakini bahwa Peringatan Maulid Nabi merupakan Bid’ah yang diadakan-adakan, maka mereka pun terjerumus ke dalam kesalahan berpikir. Sedang berdasar hadis; “Setiap bid’ah sesat dan setiap sesat menuju neraka”, lantas mereka memberi konklusi bahwa “Acara Maulid Nabi” dapat menjerumuskan ke dalam neraka, sehingga mereka mengharamkannya.

Kenapa Bid’ah? Secara umum, jawaban para pengikut sekte Wahabi seragam. Mereka menjawab: “Dikarenakan tidak adanya ‘Dalil Khusus’ dari teks agama baik dari Ayat ataupun Riwayat yang menjelaskan pembolehannya. Selain karena hal tersebt tidak pernah dicontohkan, dianjurkan, bahkan diperintahkan oleh Salaf Saleh, dari kalangan Sahabat, Tabi’in atau Tabi’ abi’in. Jika “Acara Maulid Nabi” itu merupakan hal positif dan bermuatan kebaikan, niscaya para Salaf Saleh akan terlebih dahulu melakukannya, karena mereka adalah generasi terbaik sehingga menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.”

Disini kita akan kritisi pendapat mereka.

–          Pertama: Kesalahan terbesar mereka adalah dalam memahami “Konsep Bid’ah”. Dalam pendefinisian dan tolok ukur Bid’ah mereka telah salah kaprah dalam mempersepsikannya. Jika Bid’ah mereka artikan sebagai “Yang tidak memiliki dalil khusus sehingga tidak pernah diajarkan [dicontohkan, dianjurkan  dan diperintahkan] Salaf Saleh, karena mereka tolok ukur kebenaran dan kebaikan”, maka mereka akan menghadapi problem yang besar. Karena akan kita dapati berapa banyak yang tidak dicontohkan Salaf Saleh namun tetap dipakai oleh kaum muslimin sekarang, seperti gaya busana, sarana tranportasi, alat komunikasi dst. Mungkin pengikut sekte Wahabi akan menjawab; itu bukan Bid’ah karena Bid’ah berkaitan dengan “Ibadah Murni” (ibadah mahdhoh). Dari sini minimal ada dua problem yang akan mereka hadapi:

1-      Acara Maulid Nabi tidak tergolong “Ibadah Murni”, karena itu merupakan perayaan biasa untuk membuktikan dan mengekspresikan kesenangan akan kelahiran junjungan kaum muslimin. Lantas kenapa mereka permasalahkan?

2-      Mereka terbentur dengan kasus seperti “Shalawat Tarawih Berjamaah” yang para pengikut sekte Wahabi juga lakukan, dimana tergolong “Ibadah Murni” [ibadah mahdhoh] yang tidak pernah ada contoh dan perintah dari Rasul, karena tidak termasuk “Syariat Allah” yang pernah diturunkan bersama Muhammad Rasulullah s.a.w.

Bahkan pelopor ‘Shalat Tarawih Berjamaah’ sendiri yaitu Khalifah Kedua Umar bin Khattab [Lihat di Sahih Bukhari bab Keutamaan Menghidupan Malam-Malam Ramadhan] mengatakan ‘Ni’matul bid’ah hadzihi’ [sebaik-baik bid’ah adalah ini]. Lantas kenapa mereka sendiri masih melakukan Bid’ah dengan melakukan shalat terawih berjamaah? Bukankah setiap Bid’ah itu sesat, dan setiap sesat menuju neraka?

Kenapa Khalifah Umar mengatakan itu Bid’ah? Karena Rasul tidak pernah melakukan atau menganjurkannya [Lihat kitab Shahih Bkhari  dan Muslim]. Sedang otoritas penentu Syariat hanya Allah semata [sebagai contoh, lihat QS Yusuf:40], sebagai bagian dari konsep “Tauhid Hakimiyah” [Tauhid dalam Penentuan Hukum]. dari sinilah akhirnya ulama Ahlusunah wal Jamaah secara umum membagi bid’ah menjadi ‘Hasanah‘ (baik) dan ‘dhalalah‘ (sesat/buruk), yang Wahabi sendiri tidak pernah meyakini pembagian tersebut.

 

Jadi, ketiadaan contoh di generasi awal, tidak bisa menjadi tolok ukur Bid’ah. Karena definisi Bid’ah adalah; “Merobah [menambahi atau mengurangi] apa yang telah Allah syariatkan kepada Rasul” atau dengan kata yang lebih mudah “Memasukkan apa yang tidak termasuk bagian dari agama ke dalam agama”. Dalam sejarah kita dapati para Salaf Saleh [Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in] sering berselisih paham dalam berbagai hal, sehingga menyebabkan kemunculan mazhab-mazhab dalam Islam, akibat perbedaan penafsiran dan persepsi Salaf Saleh akan dalil-dalil yang ada. Perbedaan bacaan shalat, jumlah rakaat tarawih, dst adalah bukti konkrit dari ratusan atau bahkan ribuan masalah hukum Islam yang menjadi obyek perbedaan pendapat diantara para imam mazhab fikih.

 

–          Kedua  Yang perlu diingat, tidak harus ada dalil khusus dalam menentukan hukum syariat. Karena jika itu kita paksakan, niscaya Islam MUSTAHIL mampu menjawab semua tantangan dan problematika umat manusia yang terus berkembang. Adakah dalil khusus tentang hukum perbankan [deposito, asuransi, simpan-pinjam, dst], hukum hukum medis [bayi tabung, kloning, alat kontrasepsi, cangkok organ, dst], hukum technology, social, budaya, dst?  Padahal semua itu tidak ada dalil khususnya, karena zaman permulaan Islam -pada masa Salaf Saleh- belum ada problem-problem tersebut. Sedang disisi lain, Islam sebagai agama terakhir memberi konsekuensi WAJIB/HARUS mampu menjawab segala problematika manusia dengan koridor dalil syariat yang kuat, sehingga tidak masuk kategori membuat-buat hukum (Bid’ah]). Singkatnya, “Tidak adanya contoh dari generasi pertama [Salaf] tidak meniscayakan bertentangan dengan syariat/bid’ah.

 

Selain itu, kebiasaan Allah dan Rasul-Nya dalam menjabarkan “Hukum Syariat” (lawan Bid’ah) adalah justru menjelaskan ‘yang sedikit’ jumlahnya dibanding ‘yang banyak’. Sedang kita semua tahu bahwa ‘yang dilarang’ (Haram ataupun Makruh) lebih sedikit jumlahnya ketimbang ‘yang diperbolehkan’ (Halal atau Mubah). Atas dasar itu, amalan apapun selama ‘tidak ada pelarangan’ dan ‘terdapat dalil umum pembolehan’ maka tidak menjadi masalah untuk dilaksanakan. Acara Maulid Nabi tergolong masalah ini. Sehingga dari sinilah, menjadikan Islam bersifat luwes/fleksibel dalam menghadapi budaya dan kearifan lokal kaum muslimin dunia yang berbeda-beda… Budaya Bedug di surau/masjid, memakai baju daerah, dst bukanlah bid’ah selama tidak dimasukkan ke hukum syariat agama.

Kajian ringkas tadi sebagai mukadimah dari Legalitas Acara Maulid, ataupun budaya dan tradisi manapun di belahan dunia ini di hadapan syariat Islam.

Sekarang mari kita lihat dalil-dalil umum yang menjadi sandaran legalitas acara Maulid tersebut;

1-      Islam meyakini adanya waktu-waktu tertentu yang skral:

–          Dalam Al-Quran surat Al-Qadr ayat 1-3 disebutkan bahwa letak kesakralan Lailaitul-Qadr yang di Bulan Ramadhan itu karena Turunnya Al-Quran. Jika turunnya ‘Al-Quran yang diam’ (Al-Qur’an Shamith) itu dimuliakan sebegitu besar, bagaimana dengan turunnya/lahirnya ‘Al-Quran yang berbicara’ (Al-Quran Natiq)? Karena Ummulmukminin Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Rasul beliau mengatakan: “Akhlak beliau adalah Al-Quran”.

 

–          Dalam Al-Quran surat Ibrahim ayat  5 disebutkan bahwa pertemuan Nabi Musa dengan umatnya setelah 40 hari ditinggal untuk mendapat wahyu dinyatakan sebagai ‘hari-hari Tuhan’ yang sacral. Mulia mana Musa Al-Kalim dengan Penghulu Para Nabi dan Rasul Al-Mutafa?

Jika setelah dinanti 40 hari Musa turun kembali kemudian momen itu disebut ‘hari-hari Allah’, apalagi kelahiran Muhammad s.a.w yang telah dinanti-nanti dan dikabarkan oleh setiap Nabi dan Rasul Allah?

 

–          Dalam Al-Quran surat Maryam ayat 15 disebukan bahwa Allah member salam kepada Nabi Isa ketika ia terlahir, meninggal dan dibangkitkan. Salam Allah kepada Isa ketika lahir itu disebut apa kalau tidak acara Maulid? Lebih mulia mana Isa Al-Masih dengan Penghulu Para Nabi dan Rasul, Muhammad SAW? Jika Allah memberikan salam, apa makhluk-Nya dlarang mengikuti Allah, padahal ada hadis yang mengatakan “Berakhlaklah dengan Akhlak Allah”.  Serta kita diperintah Allah untuk berselawat kpd Nabi Muhammad karena agar kita meniru Allah yang terlebih dahulu melakukannya [Lihat SQ Al-Ahzab:56]

 

–          Dalam Sebuah hadis dalam Sahih Mulim, kitab As-Shalat, bab Keutamaan Hari Jumat, dikatakan, Rasul bersabda: “Sesungguhnya Adam tercipta di hari Jum’at dan begitu juga dimasukkan ke sorga pada hari jum’at”. Jika penciptaan dan masuknya Sorga oleh Adam dianggap sakral, bagaimana dengan tercipta dan kelahiran Penghulu Segenap Nabi dan Rasul?

 

Ini semua sebagai contoh dari semua dalil Al-Quran mapun hadis Sahih yang menyatakan bahwa “Islam meyakini adanya waktu-waktu tertentu yang sakral.”

 

2-      Keharusan mencintai Rasul:

–          Cinta Rasul kunci Cinta Ilahi -.> QS Aali Imran:31 : “Katakan [hai Muhammad], jika kalian mencintai Allah maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian.

 

–          Konsekuensi cinta adalah dengan mendoakan/bershalawat kepada beliau -> QS Al-Azhab: 56: “Wahai orang-orang yang beriman, bershlawatlah kepadanya dan berikan salam

 

–          Dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim disebutkan: Nabi bersabda: “Tiada beriman seseorang sehingga aku lebih dia cintai dari hartanya, keluarganya, dan segenap manusia.

Ini hanya sedikit contoh dari sekian banyak dalil yang MEWAJIBKAN kita mencitai Rasul. Tentu CINTA memiliki KONSEKUENSI LOGIS dan RIILnya…penghormatan dan ketaatan mutlak.

3-      Kaharusan menghormati Rasul:

–          Kita harus memanggil Rasul dengan panggilan yang sopan -> An-Nur:63

 

–          Sopan dalam berpendapat dan bertutur kata di hadapan Nabi -> Al-Hujurat:2-3

 

4-      Penekanan akan kebersamaan:

–          Dalam hadis terkenal dan dispakati [muttafaqun alaihi] disebutkan: “Tangan Allah [ridho Allah] bersama kebersamaan (jama’ah)”. Begitu pula “Wahai umat manusia, kalian harus mengikuti kebersamaan [jama’ah] dan menjauhi perpecahan (furqoh).” {Kanzul Ummal karya Al-Muttaqi Al-Hndi Al-Hanafi}

Jadi berdasrkan “Dalil Umum” berupa:

1-      Sakralitas hari kelahiran makhluk termulia dan penghulu para nabi sehingga lebih utama disebut sebagai “hari-harnya Allah” untuk dihormati

2-      Kesakralan itu dinyatakan sebagai Ied [hari raya] buat kaum muslimin, hari kegembiraan menyambut “kelahiran makhluk termulia yang ditunggu-tunggu” yang bisa disebut sebagai “hari Allah”. bagaimana tidak? Jika Isa Al-Masih setelah mendapat “hidangan langit” dari Allah saja ingin menjadikannya sebagai Hari Raya untuk segenap pengikutnya, apalagi kita mendapat “Anugerah Khusus dari Langit” berupa lahirnya manusia dan makhluk tersempurna.

3-      Tentu berdasar penekanan kebersamaan, maka perayaan kegembiraan itu bisa dilakukan bersama-sama, dengan tetap menjaga batasan-batasan syariat…seperti tidak bercampur antar non mahram, dst.

Jadi tidak ada alasan lagi bagi kaum Wahabis untuk mem-Bid’ah-kan peringatan Maulid Nabi dan hari-hari besar keagamaan lainnya, kecuali alasan/faktor Politis belaka. Karena acara peringatan kelahiran Muhammad Rasulullah sama dengan memperingati awal kelahiran pejuang yang akan menumpas semua sifat kejahiliyahan, memerangi segala kedzaliman, mengganyang materialism/kesyirikan dan setiap angkara murka…ini yang tidak dikehendaki penguasa Saudi yang dari awal berkolaborasi dengan pendiri Wahabisme. Semakin umat islam dekat dengan Islam dan  pembawanya, maka semakin membahayakan…dari situlah dimunculkannya Wahabisme sebagai ajaran resmi kerajaan Saudi dukungan U.K. (Inggris). Dari sini dapat ditebak pula niat jahat mereka dibalik perusakan dan penghancuran semua situs-situs bersejarah Islam dan Muhammad, berdalih pemurnian Akidah Tauhid. Padahal semua tahu, bahwa argumentasi mereka sangat lemah dan sama sekali bertentangan dengan konsep Tauhid itu sendiri.

Tinggalkan komentar